SEJARAH
Sejarah singkat bagaimana berdirinya MTsN 9 Magetan
Madrasah Tsanawiyah Negeri 9 Magetan merupakan lembaga pedidikan berbasis Agama Islam yang sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama. MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) terletak di Desa Tanjung Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan Propinsi Jawa Timur yang berdiri sejak Tahun 1968 M. Desa Tanjung sendiri terletak di Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan dan bersebelahan dengan Desa Soco yang terkenal dengan Monumennya yaitu Monumen Soco (Tetenger Korban Pemberontakan PKI Tahun 1948) yang menjadi bukti keganasaan PKI pada masa pemberontakan FDR/PKI tahun 1948 M di Madiun yang dipimpin oleh Amir Muso. Sejarah berdirinya MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) sendiri masih ada kaitannya dengan peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1948 M yang mengakibatkan terbunuhnya para tokoh Agama Islam, kyai dan tokoh Masyarakat yang tidak seideologi dengan PKI di daerah tersebut, termasuk desa Tanjung sendiri.
Sedikit kita melihat kembali peristiwa pembrontakan PKI di desa Soco, desa Tanjung dan daerah sekitarnya. Bermula dari munculnya ideolagi Komunis pimpinan Amir Muso yang menguasai Madiun dan Magetan 60 tahun lalu, yang gemar membantai masyarakat yang tidak seideologi di sumur tua, kemudian ditimbun dengan tanah. Pada masa itu PKI memakai pesta gambyong untuk menarik massa. Dari situ mereka yang tidak sepaham diculik dan dibunuh di Pabrik Gula (PG) Redjosari, Kecamatan Gorang-Gareng, Magetan. Cara menangkap mereka yang tidak seideologi dengan mengadakan pesta gambyong. Ini pesta ledek yang selalu meriah. Sontak dalam pesta yang diadakan serempak itu menyedot ratusan warga. Sejak sore warga tidak curiga dengan pesta massal itu. Menjelang tengah malam, satu per satu orang yang tidak seideologi dengan PKI langsung ditawan. Mereka dimasukkan dalam gudang PG Redjosari. Dalam gudang pabrik gula itu semua tawanan PKI dikumpulkan ditembaki dari luar melalui jendela-jendela gudang.
Setelah disiksa dan di tembaki di gudang PG. Rejosari Goranggareng ( sekarang menjadi lapangangan sepakbola ) mereka digiring dan dimasukan ke dalam gerbong lori (Gerbong Kertopati). Dalam gerbong tua berukuran 3×8 meter itu seluruh tawanan baik yang sudah mati maupun yang masih hidup ditumpuk jadi satu. Mereka yang belum mati langsung dimasukkan ke dalam dua sumur tua di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Magetan, dan dikubur hidup-hidup. Letak Soco yang strategis dan dekat dengan lapangan udara dan dipenuhi tegalan yang banyak sumurnya, menjadikan kawasan itu layak dijadikan tempat pembantaian. Apalagi desa ini juga dilewati rel kereta lori pengangkut tebu ke Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan juga Pabrik Gula Gorang-gareng. Gerbong kereta lori dari Pabrik Gula Gorang-gareng itulah yang dijadikan kendaraan mengangkut para tawanan untuk dibantai di sumur tua di tengah tegalan/sawah Desa Soco.
Kedua sumur itu berjarak 800 meter dan dipisahkan sungai desa. Sumur pertama yang saat ini dikenal dengan Monumen Soco (Monumen Tetenger Korban Pemberontakan PKI Tahun 1948 M) berisi 108 orang korban. Hanya 68 orang dikenali. Di sumur sedalam 18 meter itu juga ditimbun Kiai Soehoed, pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan, yang juga ayah kandung mantan Ketua DPR/MPR RI, Kharis Suhud. Sumur kedua berisi sekitar 50 korban lainnya.
Sebenarnya, jauh hari sebelum peristiwa berdarah itu terjadi, warga Desa Soco sudah mulai merasakan provokasi aksi-aksi PKI, seperti yang dialami warga di kawasan Magetan yang lain. Ketika itu pencurian dan perampokan merajalela dan yang menjadi korban kejahatan senantiasa orang-orang yang bukan PKI. Kejadian yang bersifat terror mental di Soco itu mencapai puncaknya ketika pada akhir tahun 1947. Lurah Soco, yaitu Achmad Saikun yang dikenal sebagai tokoh PNI diculik dan dibunuh oleh komunis. Sementara menjelang pecahnya Peristiwa Madiun 1948, orang-orang PKI terus mengadakan provokasi. Warga Desa Soco yang berafiliasi pada PNI tiba-tiba mendapat seruan untuk mengungsi dari desa sebab orang-orang PKI mendapat informasi bahwa desa tersebut akan dijadikan ajang peperangan besar dengan Belanda. Warga PNI Soco pun kemudian beramai-ramai mengungsi dengan tergesa-gesa. Akan tetapi kejadian itu tidak pernah terjadi.
Jalim Anshori, yang ketika itu menjadi pemimpin GPII di Desa Tanjung, mengisahkan bahwa sewaktu FDR / PKI memproklamasikan Negara Sovyet Indonesia, semua orang di Desa Tanjung ditangkap dan digiring ke Soco oleh tokoh-tokoh FDR / PKI yang berasal dari Desa Tanjung sendiri. Pada tanggal 18 September 1948, Jalim mengenang, beratus-ratus manusia yang memakai gelang janur di bawah pimpinan Rusdi bergerak sambil berteriak-teriak menuju rumah Lurah Tanjung, yaitu Sumo atmodjo Sarman. Dan kemudian Lurah Tanjung ditawan di Desa Soco.
Setelah Lurah Sumo atmodjo ditawan di Soco, orang-orang FDR / PKI bergerak lagi mencari Sakidi, seorang guru ‘vervolgschool’ yang merupakan tokoh nasionalis. Karena Sakidi tidak berhasil ditemukan, maka seluruh warga lelaki Desa Tanjung ditangkap oleh FDR / PKI. Mereka diikat dengan tali bambu dan digiring beramai-ramai ke Soco. Sakidi sendiri, menurut Jalim Anshori adalah seorang PNI yang memberi kesadaran pada para pemuda Desa Tanjung tentang arti bela Negara. Sakidi menurut Jalim Ansori memberikan pelajaran kepada para pemuda desa untuk mengetahui apa yang disebut Negara. Ketika Desa Tanjung dibentuk fraksi-fraksi Masyumi, PNI, dan GPII yang tergabung dalam Dewan Desa. Jalim Anshori berpendapat bahwa, harga Sakidi rupanya cukup tinggi di mata FDR / PKI sehingga di antara sekian banyak tokoh masyarakat, yang paling dicari oleh mereka di Desa Tanjung hanyalah Sakidi sendiri. Hal tersebut baru diketahui oleh Jalim setelah Sakidi tertangkap pada taggal 22 September 1948. Kemudian Sakidi dibantai dan dimaksukan kedalam sumur. Segera setelah tokoh PNI tersebut berhasil ditangkap, maka FDR / PKI melepaskan warga Desa Tanjung yang ditawan.
Tercatat hanya dalam 7 hari mulai 18 September 1948 itu PKI menguasai sebagian Karesidenan Madiun. Meski hanya seminggu, warga saling curiga meski masih bersaudara. Sebab, sebagian ikut menjadi anggota PKI dan sebagian lagi tidak.
Ketika PKI dipukul mundur, pasukan Siliwangi dibantu Brimob dan masyarakat sekitar menggali sumur pembantaian di Desa Soco. Selain itu juga di Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan ditemukan 22 korban. Seluruh jenazah dipindah ke Taman Makam Pahlawan Kota Madiun.
Setelah masa pemberontakan PKI di Desa Soco dan desa Tanjung kehidupan masyarakat kembali normal meskipun masih ada beberapa anggota dan simpatisan PKI yang berasal dari desa Tanjung dan Desa Soco. Masyarakat Muslim dan Masyarakat Nasionalis kembali hidup dengan tenang. Namun banyak tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat serta tokoh pendidikan yang menjadi korban keganasan pemberontakan PKI tersebut. Hingga pada tahun 1968 M munculah gagasan dari para tokoh pendidik maupun tokok agama dari desa Tanjung, Kinandang, Pingkuk, Soco, dan Tegalarum yang menginginkan berdirinya lembaga pendidikan yang berbasiskan agama Islam.
Gagasan tersebut dilatar belakangi karena desa Soco dan daerah sekitarnya, termasuk Desa Tanjung yang merupakan daerah bekas basis PKI dan kemungkinan masih ada masyarakat yang termasuk anggota dan simpatisan PKI pada masa itu. Selain itu juga karena mayoritas masyarakat desa Tanjung, Kinandang, Pingkuk, Soco, dan Tegalarum yang beragama Islam namun belum benar – benar paham mengenai ajaran Agama Islam, bahkan tidak sedikit masyarakat yang beragama Islam tidak melaksanakan Syariat Islam, oranga Jawa menyebutnya dengan Islam Abangan. Islam Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayan lokal atau disebut adat istiadat daripada hukum Islam Murni (Syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi Hindu, Budha dan Animisme. Melihat kondisi masyarakat yang seperti itu dan dikarenakan belum adanya pendidikan formla yang berciri khas agama Islam di Desa Tanjung dan sekitarnya maka dibangunlah Lembaga Pendidikan berbasis Agama Islam di Desa Tanjung yang dikenal dengan Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun yang didirikan oleh para tokoh pendidik maupun tokoh agama dari desa Tanjung, Kinandang, Pingkuk, Soco, dan Tegalarum diantaranya adalah Katiman, Moch Waimin, Suwaji, Muslih, Misni, Juri, Suyono, Kamsu, Jalim Anshori pada tahun 1968 M. yang merupakan cikal bakal MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo).
Pada awalnya, sumber dana untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar di PGA Tanjung berasala dari donatur masyarakat sekitar. Pendidik yang mengajar di PGA tanjung juga tidak mendapat upah, terkadang hanya diberi upah dengan bahan makanan yang lain yang nilainya tidak seberapa jika diuangkan. Namun semua dilakukan dengan ikhlas, sukarela demi tercapainya impian untuk memeberikan pendidikan yang layak kepada generasi muda dan menyebarkan Syariat Islam di desa Tanjung tanjung dan sekitarnya. Karena terbatasnya sumber dana yang ada pada waktu itu PGA Tanjung belum memiliki Gedung Pendidikan. Pelaksanaan pendidikan dilaksanaakn di rumah – rumah warga desa Tanjung. Kemudian dengan seiring berjalannya waktu poses kegiatan belajar mengajar PGA Tanjung dipindahkan di Gedung SDN 1 Tanjung yang berlokasi disebelah barat Gedung kesenian desa Tanjung (sekarang Gedung MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo)). Gedung tersebut dibangun swadaya oleh masyarakat sekitar.
Menurut catatan sejarah pada Tahun 1971 M seluruh Siswa dan Guru PGA Tanjung diboyong ke PGA Kiringan kecamatan Kiringan, dengan tujuan untuk membantu proses penegerian PGA Kiringan Kecamatan Takeran. Namun karena siswa yang berasal dari PGA Tanjung tidak betah berada di PGA Kiringan maka siswa diboyong kembali ke desa tanjung beserta Guru dari PGA Tanjung. Karena Gedung SDN 1 tanjung yang awalnya digunakan oleh PGA Tanjung sudah digunakan oleh siswa sekolah dasar pada waktu itu akhirnya PGA Tanjung menempati Gedung Kesenian desa Tanjung. Mulai saat itu kegiatan belajar mengajar PGA Tanjung berlokasi di gedung Kesenian. Untuk memisahkan siswa antar tingkatan kelas maka gedung kesenian itu di sekat menggunakan anyaman bambu, orang jawa menyebutnya Gedek dan masih beralaskan tanah.
Karena perkembangan zaman dan aturan pemerintah PGA 4 tahun berubah status menjadi MTs Swasta pada tahun 1978 M. Dan PGA Tanjung berganti nama manjadi MTs Tanjung. Mengingat lembaga pendidikan harus dinaungi oleh yayasan, maka MTs Desa Tanjung yang diambil alih oleh yayasan Nurul Islam yang di dirikan oleh pesantren Desa Tanjung, sehingga berubah nama menjadi MTs Nurul Islam Tanjung.
Berdasarkan SK Menteri Agama RI Nomor: 107 Tanggal 17 Maret tahun 1997 tentang penegerian Madrasah Swasta maka MTs Nurul Islam Tanjung berubah status menjadi MTs Negeri Bendo. Semenjak itu MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) trus mengalami perkembangan. Baik dalam sektor sistem manajemen pendidikan maupun dalam sektor sarana dan prasarana. MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) menerapkan sistem pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman, mendidik siswa yang mempunyai disiplin tinggi, cerdas, menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), menggunakan kurikulum Kementrian Agama, Ilmu Pengetahuan Umum sama dengan Kurikulum SMP/SLTP, serta mendidik siswa menjadi pribadi muslim yang berakhlak mulia melalui pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Pembangunan Sarana prasarana pendidikan juga trus dilakukan mengingat trus bertambahnya siswa di MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo). Sumber dana dalam pembangunan tersebut diperoleh dari Bantuan pemerintah dan tidak sedikit bantuan yang datang dari masyarakat sekitar. Hal ini menunjukan semakin tingginya rasa kepercayaan masyarakat kepada MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo). Dan Pada tahun 2015 MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) membeli Tanah seluas 3000 M2 yang berlokasi di sebelah selatan Gedung lama, hingga saat ini sudah ada 4 (empat) ruang kelas di lokasi tersebut dan sudah digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Selain Ruang kelas, di lokasi tersebut juga dibangun sebuah Masjid diatas tanah waqaf dengan sumber dana pembangunan yang berasal dari bantuan masyarakat sekitar serta dari pihak – pihak lain yang mendukung perkembangan MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo).
Melihat perkembangan MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) yang cukup pesat, juga dari tahun ketahun siswa MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) terus bertambah, hingga saat ini jumlah siswa MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) berjumlah 262 siswa, maka tidak jarang di temui beberapa kendala dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar khususnya dalam hal sarana dan prasarana, diantara tidak cukupnya buku penunjang belajar siswa serta buku yang ada juga masih kurang lengkap. Selain itu juga kurangnya ruang kelas juga masih menjadi permasalahan yang belum terpecahkan. Mengingat masih ada 2 rombel yang terpaksa menggunakan Ruang kelas tua SDN 1 Tanjung yang sedikit direnovasi dan kondisinya sudah sangat tidak layak digunakan, bahkan cenderung berbahanya bagi keselamatan siswa dan guru yang mengajar di ruang kelas tersebut.
Selain itu juga terdapat kendala dalam hal akses jalan menuju lokasi gedung baru MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) yang dulunya adalah tegalan / lahan pesawahan penduduk. Meskipun lahan tersebut sudah dikeringkan namun jika musim hujan akses jalan cukup sulit untuk dilewati, bahkan kendaraan roda 4 tidak bisa melewati jalan tersebut karena kontur tanah yang berlumpur. Dari segi keamanan juga masih mengalami kendala karena belum adanya pagar pembatas di lokasi gedung baru MTsN 9 Magetan (MTsN Bendo) yang berbatasan langsung dengan lahan tebu milik masyarakat sekitar.
Adapun Pejabat Kepala Madrasah sejak berdirinya adalah sebagai berikut:
- Bapak Katiman ( 1968 – 1975 )
- Bapak Thoyib ( 1975 – 1978 )
- Bapak Wardi ( 1978 – 1983 )
- Bapak Waimin ( 1983 – 1990 )
- Bapak Bedjo Sumudi, BA ( 1990 – 2001 )
- Bapak Darmono, BA ( 2001 – 2003 )
- Bapak Sudjak, S.Ag ( 2003 – 2008 )
- Bapak Drs. Ary Siswanto, M.Si ( 2008 – 2011 )
- Bapak Agus Prabowo, S.Ag ( 2011 – 2013 )
- Bapak Basuki Prihatin, S.Pd ( 2013 – 2017 )
- Bapak Drs. Priyogo, M.Pd.I (2017-2020)
- Bapak Setiyo Nuhari, S.Pd (2020-sekarang)