SEJARAH HARI KESAKTIAN PANCASILA

Perlu diketahui, Hari Kesaktian Pancasila dan Hari Lahir Pancasila berbeda. Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni yang merupakan awal mula Pancasila sebagai lambang negara.Sedangkan, Hari Kesaktian Pancasila berkaitan dengan peristiwa G30S yang terjadi pada 30 September 1965. Dikutip dari grid.id Peristiwa 30 September 1965 merupakan pemberontakan yang bertujuan menggantikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun, pemberontakan berhasil dihentikan karena bersatu dan kerjasamanya banyak pihak.Pihak-pihak bersatu menjunjung nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan akhirnya pada 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Sejarah Hari Kesaktian Pancasila

Dikutip dari kemdikbud.go.id Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Namun, masih banyak yang binggung perbedaan antara Hari Kesaktian Pancasila dengan Hari Lahir Pancasila. Sebnarnya kedua hari peringatan tersebut merupakan peringatan terhadap lambang negara, Pancasila. Hari Lahir Pancasila, diperingati setiap tanggal 1 Juni yang merupakan peringatan cikal bakal Pancasila dijadikan lambang negara. Lairnya Pancasila adalah judul pidato dari Ir. Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosaki (BPUPKI) pada taggal 1 Juni 1945.

Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Ir, Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan “Lahirnya Pancasila” oleh mantan Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI tersebut. Dan sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional.

Manakala Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober dan berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI. Meraka yang menjadi korban itu adalah enam pejabat tinggi Angkatan Darat, yaitu :

  1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi),
  2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi),
  3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan),
  4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen),
  5. Brigjen Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik),
  6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Namun, putri beliau, Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Selain itu beberapa orang lainnya yang juga turut menjadi korban :

  1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr. J. Leimena)
  2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Koren 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakata)

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai 2 sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat Presiden Soekarno kepada Soeharto pada saat Soeharto disumpah.

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintahkan kepada Soeharto untuk mengambil “langkah-langkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Soeharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Soekarno dipertahankan sebagai Presiden Tituler Diktatur Militer itu sampai Maret 1967.

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI) dan hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuat film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selan itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makan para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Demikian, semoga bermanfaat……..

Sumber : https://lpmpriau.kemdikbud.go.id/sejarah-singkat-hari-kesaktian-pancasila-1-oktober/

SEJARAH HARI KESAKTIAN PANCASILA
Bagikan :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke Atas